Jumat, 30 Juli 2010

Perempuan Bertelanjang



عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابَ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسُ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٍ عَارِيَاتٍ مُمِيْلاَتٍ مَائِلاَتٍ رُؤُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبَخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا ".
Dari Abi Hurairah ra ia berkata, bersabda Rasulullah saw:
Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia. kemudian sekelompok wanita yang mengenakan pakaian namun layaknya telanjang. Condong dan berjalan melenggak-lenggok dan kepalanya bergoyang seperti punuk unta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak dapat mencium aromanya, padahal aroma surga dapat tercium dalam jarak perjalanan segini dan segitu. (HR Muslim)



Dalam hadits tersebut diberitakan bahwa kepada Nabi saw ditampakkan dua kelompok penghuni neraka. Mereka diancam tidak akan mencium baunya surga, apalagi memasukinya, nu'udzu billahi min dzalik. Dari kedua kelompok tersebut, hanya kelompok kedua yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.
Kelompok kedua tersebut adalah para wanita yang berpakaian namun hakikatnya telanjang. Bagaimanakah wanita yang berpakaian tapi layaknya telanjang itu? Apakah mereka itu sudah tampak di masa kita sekarang ini? Dan apakah kita, atau keluarga kita masuk dalam kelompok ini? Kalau ya, semoga Allah memberi kita petunjuk, sehingga kita bisa ikut mencium bau surga, dan berhak masuk ke dalamnya.
Apa yang ditampakkan kepada Nabi dari aktivitas api neraka adalah gambaran prilaku manusia di pentas dunia. Maka wanita di neraka yang tampak oleh Nabi, berpakaian tapi layaknya telanjang, berjalan dengan lenggak lenggok sambil membanggakan kemolekan tubuhnya, sehingga tertarik setiap orang yang melihatnya, adalah gambaran tingkah manusia di dunia saat ini.
Telanjang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tidak berpakaian (terbuka). Namun kata telanjang dalam hadits di atas bukanlah bermakna hakiki, tapi majazi. Wanita yang kita maksud adalah mereka yang berpakaian, namun pakaian mereka hanya melapisi kulit mereka, itupun hanya sebagian, bahkan pakaian yang transparan tidak mampu walaupun hanya menutup kulit mereka. Namun bentuk tubuh, bahkan lekukan dan tonjolan, terbentuk persis, karena pakaian yang dipakai sengaja dirancang elastis mengikuti lekuk-lekuk tubuh yang ingin dipamerkan. Disebut demikian, karena andaikan pakaian pembalut kulit itu dilepas, bentuk tubuhnya akan sama persis seperti ketika dia berpakaian ketat tadi. Hilang fungsi pakaian yang seharusnya menutup aurat dan menjaga martabat wanita. Pakaian yang seharusnya menutup kulit dan lekukan tubuh yang mengundang bencana itu. Mereka berpakaian tapi telanjang, karena menampakkan auratnya. Menampakkan aurat tidak hanya berarti menampakkan bagian tubuh yang terlarang tanpa penutup. Menutup kulit bagian tubuh terlarang, tapi menunjukkan bentuknya (tonjolan dan lekukan) juga bermakna menampakkan aurat.

Batasan Aurat
Kita perlu mengilas balik, apa yang disebut aurat sehingga kita harus menutupnya. Aurat berasal dari bahasa Arab "aurah", yang berarti "aib". Dalam fiqh aurat diartikan sebagai bagian tubuh seseorang yang wajib ditutupi dari pandangan. Dalam sebuah Hadits dari Abdur Rahman bin Abi Sa'id al-Khudri, dari bapaknya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ" (رواه مسلم)
Seorang pria tidak boleh melihat aurat pria lain, dan begitu pula wanita
tidak boleh melihat aurat wanita lain. Dan tidak boleh seorang pria
bercampur dengan pria lain dalam satu pakaian. (HR Muslim)

Para ulama memang berbeda dalam menetapkan batas aurat wanita. Yang umumnya mengatakan seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak tangan. Namun sebagian ulama Al-Hanafiyah dan khususnya Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan bahwa yang tidak termasuk aurat adalah wajah, tapak tangan, dan kaki. Kaki yang dimaksud bukan dari pangkal paha tapi yang dalam bahasa arab disebut qadam, yaitu dari tumit kaki ke bawah. Menurut beliau qadam bukan aurat karena kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.
Sehingga para wanita pengikut mazhab Al-Hanafiyah sudah merasa cukup shalat dengan menggunakan rok panjang sebagai bawahan tanpa harus menutup bagian bawah kakinya dan tanpa harus mengenakan kaos kaki.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tapak tangan. Sehingga kaki tetap merupakan aurat yang tidak boleh diperlihatkan kepada non mahram. Baik di dalam shalat mapun di luar shalat.
Al-Malikiyah dalam kitab 'Asy-Syarhu As-Shaghir atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat wanita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya 'al-Muhazzab', kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni 1 : 1-6, Mazdhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat.
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailul Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
Selain itu ada hadits Aisyah ra yang menetapkan batas aurat wanita :
bahwa saudaranya, Asma', pernah masuk ke rumah Rasulullah s.a.w. dengan berpakaian tipis sehingga tampak kulitnya. Rasulullah s.a.w. berpaling dan mengatakan: Hai Asma', sesungguhnya seorang perempuan bila sudah datang waktu haid, tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu, melainkan ini dan ini, sambil
ia menunjuk muka dan kedua telapak tangannya. (HR Abu Dawud)
Memang ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hadits Asma` binti Abu Bakar dianggap dhaif, tapi tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau dalam 'hijab wanita muslimah', 'Al-Irwa`, Shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.

Syahbana Daulay, M.Ag

Tidak ada komentar:

Posting Komentar